Jumat, 01 April 2011

Optimis Kunci Meraih Sukses

Sudah sejak lama sikap Optimis sangat dibutuhkan bagi setiap insan manusia dalam menjalani hidup ini, sehubungan dengan tidak jarangnya pemberitaan di media televisi akan kasus bunuh diri mungkin ada keterkaitannya dengan kurangnya sikap optimis dalam mengarungi bahtera kehidupan ini.
Apakah anda seorang yang optimis dalam menghadapi hidup?Kitalah orang yang paling tau apakah kita seorang yang optimis atau pesimis. Tingkat keoptimisan dan kepesimisan kita tidak bisa diukur dengan ucapan, karena dari segi prakteknya justru bertentangan dengan kaidah optimisme itu sendiri, maka kita bukanlah orang yang optimis.
Dua pengertian dari Optimisme. Pertama,  optimisme adalah doktrin hidup yang mengajarkan kita untuk meyakini adanya kehidupan yang lebih baik. Kedua, optimisme berarti kecenderungan batin untuk merencanakan aksi untuk mencapai hasil yang lebih bagus dari sebelumnya. Dapat disumpulkan lagi bahwa optimis berarti kita meyakini adanya kehidupan yang lebih baik dan keyakinan itu bisa jadikan sebagai bekal untuk meraih hasil yang lebih baik.
Beberapa alasan mengapa harus Optimis. Pertama, Optimis adalah sebuah energi positif diri. Kedua, Optimis adalah sebuah perlawanan. Ketiga, Optimis adalah sistem pendukung dalam pencapaian tujuan yang lebih baik lagi.
Optimis adalah bagian dari keinginan untuk mewujudkan Harapan, Sebuah temuan mengungkap bahwa orang yang memiliki harapan optimis, uimumnya memiliki kualitas di dalam diri yang antara lain:
1. Fokus, selektif, dan memiliki sasaran yang jelas.
2. Bisa menerima kanyataan hidup dengan kesadaran, tanpa banyak mengeluh.
3. Memiliki keyakinan untuk bangkit.
4. Punya perasaan diberkati rahmat Tuhan.
5. Punya kemampuan untuk menikmati kehidupan.
6. Punya kemampuan menggunakan akal sehat dalam menghadapi tantang hidup.
7. Punya kemampuan untuk memperbaiki diri secara terus menerus.
8. Punya penghayatan yang baik terhadap kehidupan yang dijalani sehingga bisa membedakan yang salah dan yang benar, yang tepat dan yang menyimpang.
9. Percaya pada kemampuannya.
10. Memiliki perasaan yang baik terhadap dirinya.
Namun ada beberapa yang perlu dihindari dalam Berharap. Pertama, harapan mulut dimana kita berharap adanya hari esok yang lebih bagus, namun itu hanya kita gunakan dalam ucapan atau tulisan, tanpa diiringi dengan tujuan, perencanaan, strategi, teknik, dan pelaksanaan (Aksi). Kedua, terlalu berharap (over-expectation) itu berbeda dengan memiliki harapan yang kuat (Optimis). Harapan yang kuat berujung pada usaha yang kuat. Sementara, terlalu berharap biasanya hanya berhenti pada mengharap, untuk mengharap dan selalu mengharap. ["Jika kau mengharapkan sesuatu, jangan terlalu mengharapkannya"]

Jumat, 25 Maret 2011

HATTA MEMIMPIN REPUBLIK DARI BUKITTINGGI Tatkala Bukittinggi Jadi Ibu Kota Kedua RI

Dalam bulan November tahun 1946, segera setelah kepergian tentara Sekutu meninggalkan Kota Padang dan digantikan oleh tentara Belanda, ibukota keresidenan Sumatera Barat dipindahkan ke Bukittinggi. Itulah awal mula peranan penting kota sejuk di jantung pegu nungan Bukit Barisan ini dalam sejarah Republik Indonesia.
Kota Bukittinggi mempunyai kedudukan yang amat penting selama masa Perang Kemerdekaan (1945-1949), karena selama delapan bulan (Juni 1947 - Februari 1948) Wakil Presiden Moham mad Hatta memimpin perjuangan Republik dari kota ini. Didampingi sejumlah pejabat tinggi negara, Hatta tinggal dan berkantor di “Rumah Tamu Agung” (kini bernama Istana Bung Hatta) untuk memimpin perjuangan dari Sumatra, dan menjadikan Bukittinggi sebagai Ibu Kota kedua Republik Indonesia setelah Yogyakarta. Sejak terakhir kali mengunjungi tanah kelahirannya, Ranah Minang, ini tahun 1934, hingga menje lang dua tahun setelah Proklamasi Kemerde kaan 17 Agustus 1945 -yang ia proklamirkan bersama Soekarno— Hatta tak pernah lagi mengunjungi Sumatra. Tugas-tugas memimpin Republik yang baru lahir yang dijalaninya di Jakarta, kemudian di Yogyakarta, tak memung kinkan Hatta untuk mengunjungi Sumatra. Namun setelah keadaan perjuangan di Jawa semakin berat, dan adalah masalah-masalah in ternal di Sumatra sendiri, telah mendorong Hat ta untuk datang ke Sumatra sembari menyiap kan wilayah ini sebagai daerah alternatif jika kekuasaan Belanda terus meluas di Pulau Jawa.
Hatta berangkat ke Sumatera awal Juni 1947, yakni sepuluh hari setelah menerima undangan dari KNI (Komite Nasional Indonesia) Sumate ra. Berangkat dengan menumpang kereta api sore dari Stasiun Tugu, Yogyakarta, Hatta yang disertai rombongan yang cukup besar jumlah nya, meneruskan perjalanan ke ujung Barat Pulau Jawa. Setelah menyeberangi Selat Sunda, rombongan Wakil Presiden ini memulai perjalanannya dari selatan Pulau Sumatra.
Inilah kunjungan pertama Wakil Presiden RI ke Sumatera. Dalam rombongan itu, kecuali dua orang sekretaris pribadinya, masing-masingnya I. Wangsa Widjaja dan W. Hutabarat, dan seorang lagi ajudan resmi Wakil Presiden, Ruslan Batangtaris, sejumlah pejabat tinggi ikut bergabung. Mereka antara lain ialah R. Surjo (Ketua Dewan Pertimbangan Agung), Ir. H. Laoh, (Menteri Perhubungan), Mr. A. Karim, (Direktur Bank Negara), serta Surya Atma djaja dan Roesli Rahim, keduanya Staf Menteri Perekonomian, ditambah dengan Aboe Bakar Loebis, dan Soepardjo sebagai pemimpin pemuda.
Dalam perjalanan darat dari selatan menuju utara Pulau Sumatra, Hatta menemukan banyak kesan menarik dan mungkin juga janggal atau aneh. Yakni, banyaknya orang Minang yang menjadi pemimpin atau pemuka masyarakat setempat. Di Palembang, misal nya, ia disambut Gubernur Sumatra Seletan dr. Moh. Isa yang berasal dari Sumatra Barat. Sama dengan Gubernur sebelumnya yang digantikan Isa, yakni dr. Adnan Kapau Gani yang telah ditarik ke Yogya untuk menjadi pejabat negara. Demikian pula dengan Mr. Hazairin, residen Bengkulu yang kemudian diangkat menjadi Wakil Gubernur Sumatra Selatan.
Ketika singgah di Jambi, Hatta juga menemu kan kesan “aneh” saat bertemu dengan Dewan Perwakilan Rakyat di daerah itu. Ternyata, dari 20 orang anggotanya sebanyak 12 orang berasal dari Sumatra Barat. Dalam setiap pertemuan di berbagai tempat yang disinggahinya, Hatta selalu didaulat berpidato dan tak lupa meneriak kan pekikan “merdeka” yang disambut antusias oleh rakyat banyak.
Hatta dan rombongan sampai di Bukittinggi pertengahan Juni 1947. Selama keberadaannya di Bukittinggi, Hatta menetap di “Rumah Tamu Agung”, sebuah bangunan besar bekas kediam an Asisten Residen Belanda, persis di hadapan sebelah selatan Jam Gadang. Selain sebagai kediaman, bangunan ini sekaligus berfungsi sebagai Istana Wakil Presiden, tempat Bung Hatta dan para pemimpin dalam rombongannya berkantor. Dari gedung inilah Hatta memimpin perjuangan Republik Indonesia di Sumatra, mengadakan pertemuan-pertemuan dengan para pemimpin daerah sampil mempelajari dan membahas masalah-masalah perjuangan yang mendesak yang dihadapi Republik Indonesia umumnya, dan Sumatra serta Sumatra Tengah khususnya.
***

Dalam pada itu, sejak pertengahan tahun 1947, aksi-aksi dan provokasi oleh tentara Belanda di Kota Padang dan sekitarnya semakin meningkat. Pertempuran-pertempuran sering terjadi, terutama dipicu oleh pelanggaran-pelang garan yang dilakukan oleh Belanda terhadap perbatasan yang sudah ditetapkan sesuai dengan hasil perjanjian Linggarjati. Dengan alasan diprovokasi oleh serangan-serangan gerilya pasukan TNI, Belanda sering melakukan operasi hingga melewati Padang Luar Kota.
Di Sumatera Barat khususnya, awal Agresi Militer pertama telah didahului Belanda dengan melakukan intimidasi dan provokasi yang mencapai puncaknya dengan tindakan pembu nuhan brutal terhadap Walikota Padang, Bagindo Azizchan. Tragedi itu terjadi di dalam bulan puasa, tepatnya hari Ahad tanggal 19 Juli 1947. Pada saat itu Hatta sedang melakukan kunjungan ke Sumatra Utara.
Walikota Padang yang hendak menuju Bukittinggi, dicegat di tengah jalan. Sekitar pukul 6 sore, Bagindo Azischan ditemukan sudah jadi mayat di Nanggalo. Jenazah almarhum, setelah sempat disimpan di rumah sakit Jati di Padang, dijemput kemudian dibawa ke Bukittinggi oleh pasukan Mobrig di bawah pimpinan Inspektur Polisi Amir Machmud. Walikota Padang yang kedua -Azizchan menggantikan Mr. Aboe Bakar Djaar yang diangkat menjadi Residen Sumatera Timur- itu dimakamkan di Bukittinggi secara luar biasa, yakni pada tengah malam. Pada saat pemaka mannya, sekitar pukul 00.00, tanggal 19 jalan 20 Juli 1947, bertindak sebagai inspektur upacara Residen Sutan Mohd. Rasjid.
Kematian Azizchan, menurut keyakinan pihak Republik, disebabkan pembunuhan yang dilakukan oleh Belanda secara keji. Kejadian ini menandai awal konflik yang lebih serius, saat Belanda pada hari-hari berikutnya menerobos ke front pertahanan Republik di luar kota. Sejak itu semua front tanpa kecuali bergolak dan pertempuran demi pertempuran membawa jatuhnya banyak korban di kedua belah pihak.
Ketegangan semakin meningkat dengan dilancarkannya Agresi Militer yang pertama oleh Belanda pada hari berikutnya, 21 Juli 1947. Di Sumatera Barat, Agresi yang pertama ini mempunyai sasaran yang terbatas, yaitu memperluas daerah pendudukan Belanda dari daerah Padang Luar Kota sampai ke Tapakis dekat Lubuk Alung.
Terjadinya agresi militer Belanda itu, menyebabkan Wakil Presiden Hatta yang sedang melakukan perjalanan dengan rombongannya ke daerah Sumatera Utara dan juga telah direncanakan terus ke Aceh, tidak lagi dapat meneruskan kunjungan tersebut. Sewaktu berada di Pematang Siantar, Hatta dan rombongan nyaris terperangkap oleh aksi-aksi militer Belanda yang menyerang dari Medan. Akibatnya Wapres terpaksa pulang kembali ke Bukittinggi, kota yang sejak awal Proklamasi tetap berada di luar orbit kekuasaan Belanda.
Diserangnya Pematang Siantar, ibukota Sumatra setelah Medan disusuki Belanda, telah memaksa pula Gubernur Teuku Mohammad Hasan memindahkan kedudukan ibukota Sumatera ke Bukittinggi. Gubernur ini pun mengikuti rombongan Wakil Presiden Hatta ke Bukittinggi.
Hatta dan rombongan baru sampai di Bukittinggi pada tanggal 29 Juli 1947. Kota itu segera menjadi penuh sesak dengan mengalirkan penduduk dari Padang dan bahkan dari Pematang Siantar. Sebelum Kemerdekaan penduduk Bukittinggi hanya sekitar 15.000 jiwa, namun sesudah bulan Juli 1947 melonjak hampir mencapai 100.000. Bukittinggi benar-benar mempunyai peranan yang amat penting. Selain sebagai tempat kedudukan Wakil Presi den, ibu kota Sumatera dan pusat pemerintahan Sumatra Barat, kota ini juga jadi tempat kedu dukan Markas Besar TNI Komandemen Sumate ra yang dipimpin Jenderal Mayor Sahardjo.
Sementara Agresi Militer I Belanda telah memicu banyak ketegangan di Jawa dan juga di kota-kota pesisir di Sumatra, Hatta masih dapat meneruskan tugas memimpin Republik dari Bukittinggi. Bahkan, sejak akhir Juli 1947, Hatta memperoleh mandat penuh dari Perdana Menteri Amir Sjarifuddin untuk memimpin pemerintahan di Sumatera. Hatta pun memper oleh keleluasaan untuk mengambil segala tindakan darurat yang diperlukan, meski pun sebetulnya dalam keadaan normal bukan menjadi wewenang Wakil Presiden, karena dalam sistem parlementer yang berlaku masa itu presiden dan wakil presiden hanyalah kepala dan wakil kepala negara.
Kedudukan dan keleluasaan itu telah menjadikan Bukittinggi benar-benar sebagai ibu kota kedua Republik setelah Yogyakarta. Dan “Rumah Tamu Agung” (kemudian menjadi Gedung Negara Tri Arga) yang kini dinamai Istana Bung Hatta, memang benar-benar pernah menjadi Istana Wakil Presiden.uBersambung
Hatta Menyatukan Gerak Sumatera
Segera setelah sampai di Bukittinggi, atas bantuan Residen Sutan Mohammad Rasjid dan sejumlah pemuka masyarakat Sumatra Barat, Hatta berusaha mengkordinasikan kegiatan berbagai kelompok na-sionalis di Sumatera.
Hamka, seorang tokoh pemimpin Masyumi di daerah itu, masih ingat bahwa pada tanggal 30 Juni 1947, Hatta mengundang semua orang yang menduduki jabatan pimpinan partai, tentara, guru agama dan pegawai negeri di daerah guna mendengar nasihat dan briefing Wakil Presiden. Dalam pertemuan itu, Hatta mengulangi lagi arti penting persatuan, "karena meskipun semangat bergelora, jika keputusan yang matang tidak diambil berdasarkan satu komando terpadu akan sangat sulit mencapai tujuan perjuangan: yaitu kemenangan".
Audrey Kahin, dalam kajiannya tentang revolusi di Sumatera Barat, melihat kehadiran Hatta di tanah kelahirannya ini sebagai "agen utama yang menjamin subordinasi isu lokal terhadap isu nasional". Sebagai orang Minangkabau dan salah seorang dari dua pemimpin paling terkemuka Republik, Hatta memiliki pengaruh yang besar atas perbaikan Sumatera Barat. Perasaan ini juga dilantunkan kembali oleh Hamka dalam suatu tulisannya: "Dia (Hatta) bisa menangkap jantung hati rakyat Minangkabau di tangannya".
Beberapa Kebijakan Hatta
Sekalipun kekuatan psikologis seluruh kalangan para pejuang di Sumatra telah ditimbulkan kembali oleh kehadiran Hatta di tengah-tengah mereka, Kahin juga mencatat, bahwa beberapa kebijakan yang dijalankan Hatta ternyata masih belum cukup ampuh untuk menyusun suata kekuatan yang diperlukan Republik di Sumatera untuk mengha-dapi Belanda. Ini khususnya menyangkut kebijakan reorganisasi kekuatan militer.
Memang, dalam upayanya untuk menggunakan kontrol pusat terhadap daerah, Hatta kadang-kadang justeru melakukan hal-hal yang tam-paknya bertentangan dengan tradisi politik orang Minang yang indenpenden. Salah satu prakarsa Hatta terpenting misalnya ialah mencoba menyatukan sejumlah besar partai dan organisasi sosial yang ada di Minangkabau di bawah satu komando, yaitu melalui apa yang dinamakan "Badan Pengawal Nagari dan Kota" (BPNK). Gerakan BPNK berada di bawah suatu sekretariat bersama yang terdiri dari lima orang tokoh politik terkemuka di Sumatera Barat, yakni Hamka, Chatib Sulaiman, Udin, Rasuna Said dan Karim Halim.
Kebijakan Hatta untuk mempersatukan kekuatan bersenjata yang terpecah-pecah, mendapat sokongan dari pihak militer. Panglima Komandemen TNI Sumatera, Let. Jend. Soehardjo ikut memberikan perintah kepada anak buahnya untuk membantu merujukkan kembali berbagai unit tempur yang saling terpisah di luar jajaran tentara reguler (TNI) dengan menggabungkan semua laskar dan tentara reguler di bawah suatu komando "Dewan Kelaskaran".
Namun seruan untuk menggabungkan seluruh lasykar ke dalam TNI demi kesatuan komando tampaknya tidak banyak berhasil. Namun demikian, secara keseluruhan penggabungan kekuatan yang lebih besar antara unsur sipil, yaitu BPNK,dengan jajaran TNI ke dalam suatu komando yang diinginkan Hatta, yakni apa yang disebut "Front Nasional" (FN) bukanlah ikhtiar yang sia-sia. Hasilnya amat dirasakan dalam menghadapi dua kali agresi Belanda. FN memainkan peranan cukup penting dalam perjuangan Republik di Sumatra.
Masih dalam rangka memperbaiki loyalitas lokal terhadap pusat, Hatta dengan berbagai cara juga melakukan reorganisasi pemerinta-han sipil. Antara lain dengan memulihkan otonomi lokal melalui kebijaksanaan menghapuskan jabatan residen, karena pengalaman sebelumnya menunjukkan, bahwa para residen telah menjadi adminis-trator daerah yang efektif untuk dirinya sendiri, tetapi kurang koordinasi untuk antar keresidenan. Posisi Sub-Gubernur dan Gubernur Tengku Mohammad Hasan untuk seluruh Sumatera juga kurang berfungsi. Kenyataan ini mendorong Hatta untuk mengembalikan bentuk pemerintahan kepada apa yang diperjuangkannya pada awal proklamasi, dalam Sidang PPKI, agar Sumatera dibagi menjadi tiga provinsi, dengan seorang Gubernur sebagai kepala setiap provinsi.
Di samping membenahi soal-soal lokal dan regional, Hatta juga melakukan hubungan internasional dari Bukittinggi. Tak lama setelah berkantor di Bukittinggi, Hatta mendapat instruksi Soe-karno agar berangkat ke India. Lewat jasa Biju Patnaik, seorang tokoh nasionalis India yang bersimpati dengan revolusi Indonesia, yang singgah di Bukittinggi dari perjalanan mengunjungi Yogya, Hatta berangkat ke India dari Lapangan Terbang Gadut, untuk membicarakan bantuan senjata dari India.
Hatta kembali ke Sumatera sekitar pertengahan Juli 1947, tetapi missinya untuk mendapatkan senjata, karena berbagai alasan, tidak berhasil. Dia kemba]i meneruskan perjalanan keliling yang ter-ganggu sebelumnya, seperti ke Tapanuli dan Sumatera Timur. Tetapi sampai di Pematang Siantar dia mendapatkan keadaan yang berubah cepat. Tebing Tinggi, Brastagi. dan Pematang Siantar, yang baru saja menjadi ibukota Provinsi Sumatera, hampir jatuh ke tangan Belanda. Hatta dan Gubernur Hasan tidak memiliki banyak pilihan, kecuali mundur, kembali ke Bukittinggi, dan menangani berbagai persoalan yang dihadapi negara baru ini.
Yang terpenting dan amat mendesak ialah kurangnya pemasokan mata uang Republik. Sejak bulan Oktober 1946, ORI (Oeang Repoeblik Indonesia) sebagai alat tukar yang baru sudah diedarkan ke Suma-tera untuk pengganti uang Jepang yang dipakai sebelumnya dengan nilai tukar 1: 100 untuk uang Jepang dan ORI. Namun 'stock' alat tukar itu tidak mencukupi. Pematang Siantar lalu mencetak mata uang khusus untuk Sumatera, yaitu ORIPS (Oeang Repoeblik Indone-sia Propinsi Soematera). Itupun ternyata masih belum memadai, terutama karena setiap daerah harus membiayai sendiri para pega-wainya, termasuk gaji polisi, tentara dan untuk keperluan-keper-luan kantor, obat-obatan dan lain-lainnya, sehingga beberapa daerah juga mendesak agar diizinkan untuk mencetak mata uang sendiri.
Di Sumatera Barat, otoritas pencetakan kertas berharga itu berada di tangan militer, khususnya Bagian Keuangan Divisi IX/Divisi Banteng di Bukittinggi. Meskipun negeri dalam keadaan sulit, Hatta tampaknya kurang menyetujui kebijakan moneter semacam itu. Ketika Mr. Hazairin, bekas Residen Bengkulu mengusulkan kepada Hatta agar daerah-daerah bisa menyediakan mata uang yang sah, dia lantas dimarahi karena membenarkan percetakan uang sendiri bagi setiap daerah di Sumatera. Tetapi dia (Hazairin) jalan terus, 'dan Pak Hatta diam saja', kenang Hazairin dalam sebuah tuli-sannya.
Bagaimana pun, Hatta bukan tak memikirkan alternatif pemecahan bagi mencukupi belanja negara di Sumatera. Sebagai seorang ekonom terkemuka dan dikenal sebagai arsitek utama dalam perencanaan ekonomi Republik sejak awal proklamasi, Hatta lebih mengarahkan kebijakan ekonomi Sumatera pada pengaturan hubungan perdagangan luar negeri. Terutama dengan cara menyalurkan komoditi pertanian Sumatera ke Singapura dan Semenanjung Malaya melalui sistem barter, suatu istilah yang digunakan pihak Republik waktu itu. Tetapi Belanda menyebutnya dengan istilah "perdagangan gelap".
Untuk tujuan ini, Hatta menyarankan dibentuknya semacam trading house untuk seluruh Sumatera, yang kemudian dikenal "Sumatera Banking and Trading Company" (SBTC). SBTC merupakan cabang dari BTC yang telah didirikan di Jakarta atas gagasan Hatta sekitar akhir Januari 1947, yakni beberapa bulan sebelum berangkat ke Sumatera.
BTC Pusat berada di bawah pengawasan Menteri Keuangan Mr. Sja-fruddin Prawiranegara, dengan tujuan utama untuk menyiasati "blokade ekonomi" yang diberlakukan Belanda sejak awal Januari. Dalam hal ini misalnya, BTC berupaya mendorong partisipasi perus-ahaan ekspor-impor swasta dari dan ke daerah Republik di Jawa dan Sumatera, serta sekaligus bertindak atas nama pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan ekspor impor di bawah koordinasi Kemen-terian Keuangan.
Selama tahun 1947 Sumatera telah menikmati keuntungan dari kegia-tan perdagangan barternya berkat prakarsa-prakarsa yang digerak-kan oleh Hatta melalui kerjasama antara berbagai kelompok bisnis resmi, baik militer, sipil, maupun swasta. Seorang peniliti juga pernah mengatakan, bahwa selama periode ini Sumatera mengalami the Golden Age (Abad Keemasan) dalam "pedagangan gelap".
Pada masa itu, daerah Jawa semakin terdesak akibat agresi militer Belanda I, di samping "terkepung" oleh kontrol "blokade ekonomi" Belanda yang semakin ketat. Namun berkat kepemimpinan Hatta, Sumatera tampil sebagai daerah alternatif dan memiliki ruang gerak yang relatif bebas dalam meneruskan perjuangan kemerdekaan. Kesempatan ini telah digunakan Hatta dengan sebaik-baiknya. Ini kelak akan menjelaskan, kenapa ketika Yogya jatuh dalam Agresi II Belanda, Sumatra siap mengambil alih kelanjutan pemerintahan dengan membentuk PDRI yang berpusat di Sumatra Barat. Hatta sudah mempersiapkannya selama berada di Sumatra.
Membeli Kapal Terbang Pertama untuk RI
Dalam berbagai buku sejarah selama ini, umumnya orang mengetahui bahwa pesawat terbang pertama untuk Republik, disumbangkan oleh rakyat Aceh, yakni "Seulawah" yang diberi kode RI-001. Namun, temuan data sejarah baru memastikan bahwa pembelian pesawat terbang Republik yang pertama dilakukan rakyat Sumatera Barat di bawah pimpinan Hatta pada tahun 1947.
Pesawat jenis Avro Anson dengan kode RI003 itu sesungguhnya dibeli bulan Desember 1947, sedang Seulawan sumbangan rakyatAceh dibeli pertengahan tahun 1948. Sayangnya, pesawat yang disumbang-kan oleh rakyat Sumatra Barat tak sempat dipakai untuk tujuan perjuangan, karena jatuh di Selat Malaka bersama pilot dan navi-gatornya, yakni Iswahyudi dan Halim Perdanakusuma -dua nama pahlawan nasional yang namanya kini abadi dalam sejarah.
Pembelian pesawat terbang pertama untuk RI itu dilakukan di bawah pimpinan Bung Hatta ketika ia berkantor di Bukittinggi. Dan itu sangat erat kaitannya dengan kebijakan ekonomi Hatta di Sumatera. Sebagai ekonom paling terkemuka dan dikenal sebagai arsitek utama dalam perencanaan ekonomi Republik sejak awal proklamasi, Hatta mengarahkan perhatian pada masalah maasalah mendesak di bidang keuangan di daerah-daerah dan hubungan ekonomi dengan luar ne-geri.
Kesulitan-kesulitan ekonomi yang dihadapi Sumatera dalam mempero-leh nilai tukar uang Republik ORI sedikit banyak dapat teratasi. Tetapi sejak Belanda memperketat blokade ekonominya pada bulan-bulan pertama 1947, banyak ruang gerak kegiatan ekonomi setempat semakin sempit. Di samping itu juga mengakibatkan semakin tertu-tupnya komunikasi dengan dunia luar.
Salah satu jalan keluar yang ditawarkan Hatta ialah memperjuang-kan agar Sumatera mampu membeli pesawat terbang. Bagi Hatta Sumatera adalah daerah alternatif. Lebih-lebih lagi mengingat tanda-tanda perundingan akan dikhianati Belanda semakin terasa dan Belanda kelihatan semakin semena-mena. Ketika pertempuran akhirnya benar-benar terjadi pada saat Belanda melancarkan agresi militernya yang pertama (Juli 1947), Hatta yang terkepung di Sumatera Barat, sebenarnya tidak begitu terkejut.
Setelah Agresi Militer I, politik blokade Belanda membawa akibat, Sumatera berada dalam keadaan terjepit. Hampir semua daerah strategis diduduki Belanda, baik lalu lintas antarkota (Medan, Palembang, Padang), maupun lalu-lintas perairan di sepanjang pantai timur dan barat Sumatera. Hanya Aceh dan Bukittinggi yang masih berada di luar kekuasaan Belanda.
Hubungan antara kedua pusat perjuangan di Sumatera (Bukittinggi) dan Jawa (Yogyakarta) masih tetap sulit. Itulah sebabnya kebutu-han akan pesawat terbang penghubung sebagai jembatan udara (air-bridge) menjadi vital adanya. Baik untuk menghubungkan garis perjuangan Jawa Sumatera, maupun untuk kepetingan diplomatik dan kontak-kontak dagang dengan luar negeri.
Demikianlah atas instruksi Wakil Presiden Bung Hatta di Bukit-tinggi pada tanggal 27 September 1947, dibentuklah sebuah panitia yang diberi nama sesuai dengan tujuan dan maksudnya, yaitu "Pani-tia Pusat Pengumpulan Emas untuk Membeli Sebuah Kapal Terbang". Hampir semua pengurusnya adalah tokoh-tokoh yang ikut dalam rombongan Hatta dan Yogyakarta beberapa bulan sebelumnya. Ketuan-ya ialah Mr. Abdoel Karim, Direktur Bank Negara, sedangkan anggo-tanya antara lain ialah RSuryo, bekas Bupati Jawa Timur, R.S. Suria Atmadja, diperkuat oleb Mr. Sutan Mohammad Rasjid, Residen Sumatera Barat.
Panitia ini bertugas untuk mengumpulkan sumbangan perhiasan emas dari rakyat Sumatera Barat. Semua unsur kepemipinan "tradisonal" Minangkabau dilibatkan; mereka terdiri dari tali tigo sapilin, yaitu ninik mamak, cerdik pandai, dan alim ulama. Mereka dikerah-kan untuk menggugah partisipasi masyarakat di kota dan di nagari antara lain meminta kerelaan kaum ibu untuk melepaskan perhiasan mereka. Pemimpin yang pintar berpidato dikirim ke pelosok pede-saan dan mengadakan pertemuan di dalam mesjid, di surau-surau atau di tanah lapang terbuka.
Meskipun saat itu masyarakat sedang susah, namun gagasan itu mendapat sambutan yang luar biasa. Sebagai contoh misalnya, ketika Residen Rasjid bersama Komandan Divisi Banteng, Kol. Ismael Lengah, mengadakan suatu pertemuan untuk mengumpulkan dana perjuangan di Padang Panjang. Di depan hadirin yang memenuhi gedung bioskop di kota itu, Rasjid dan Ismael Lengah, membentang-kan suka-duka para prajurit di front dalam menahan serangan (agresi) militer Belanda yang baru saja berlangsung beberapa waktu sebelumnya. Hadirin jugadigugah dengan melukiskan bagaimana kekejaman Belanda hingga mengakibatkan terbunuhnya Wali Kota Padang, Bagindo Aziz Chan.
Rupanya dalam keadaan krisis semacam itu, orang mudah dipersatu-kan dengan membangkitkan perasaan solidaritas dan sejarah masa lampau mereka. Secara serentak mereka lalu menyerahkan dan menda-ftarkan sumbangan. Dalam kegiatan ini, kaum ibulah yang paling di depan, karena pada saat itu juga mereka rela melepaskan perhia-sanya: gelang, subang, lontin, bahkan cincin kawin -karena hanya itulah yang terbawa pada saat itu. Keikhlasan mereka melampaui hal-hal yang lain, menyebabkan mereka tidak ingat lagi akan kesempitan hidup mereka sendiri, di masa yang jauh dan sejahtera itu.
Hanya dalam tempo kurang dari dua bulan saja, emas sudah terkum-pul. Pada akhir November, Wakil Presiden Bung Hatta di "Rumah Tamu Agung" (kini Istana Bung Hatta) Bukittinggi, sudah menerima satu kaleng biskuit berisi emas batangan lewat Mejelis Pertahanan Rakyat Daerah Sumatera Barat yang diketuai oleh Chatib Sulaiman. Jumlahnya sekitar 14 - 15 kg emas. Emas perhiasan yang diperoleh dari sumbangan kaum ibu Sumatera Barat itu kemudian dilebur dan dijadikan lempengan emas batangan.
Emas batang itu yang akan dijadikan untuk membeli pesawat. Meski-pun Sumatera Barat sudah lama melakukan perdagangan barter dengan Singapura, pengalaman membeli pesawat terbang jelas baru sama sekali. Apa jenis pesawat yang dibutuhkan dan sesuai dengan kemampuan modal yang ada? Siapa yang akan menerbangkannya dan apa yang akan terjadi berikutnya? Untuk mencari jawaban ini maka dicarilah informasi ke Singapura.
"Sebelum berangkat dari Bukittinggi diserahkan kepada saya satu kaleng biskuit berisi emas batangan," kenang Aboe Bakar Loebis, salah seorang yang dipercaya untuk membeli pesawat terbang. Pesawat yang akan dibeli dapat ditemukan berkat bantuan staf Perwakilan RI Singapura. Mereka adalah dua tokoh asal Minang, masing-masing Letnan Penb. Mohammad Sidik Tamimi, alias Dick Tamimi, dan Ferdy Salim, putra Haji Agoes Salim, ketika itu adalah staf supply mission AURI di Singapura.
Sebuah pesawat yang ditemukan untuk dibeli itu adalah sebuah Avro Anson, milik Paul H. Keegan, seorang warga negara Australia, pernah menjadi penerbang RAF saat PD II. Pesawat itu ditawarkan lewat seorang "broker" dari Burma, H. Savage. Keegan akhirnya langsung berhubungan dengan Dick Tamimi dan Aboe Bakar Loebis.
Disepakati bahwa transaksi akan diadakan di Bukittinggi di bawah kesaksian para pemimpin daerah ini. Maka pada awal Desember 1947, Anson akan diterbangkan ke lapangan terbang Gadut.
Tapi timbul persoalan bagaimana membawanya ke Sumatera. Belanda saat itu sedang memberlakukan blokade ekonomi terhadap wilayah RI, dan hubungannya dengan Inggris sangat baik. Jika mereka meminta izin terbang ke Sumatera, otoritas Airport di Singapura dapat dipastikan akan menolak. Akal kancil pun muncul. "Kepada petugas tower kami meminta izin untuk mengadakan trial flight," kata Ferdy Salim mengenang. "Tapi setelah beberapa saat mengitari udara Singapura, Keegan mengerahkan pesawatnya ke Sumatera, dan akhirnya mendarat di Gadut."
Persoalan kembali muncul karena Keegan terbang hanya dengan membawa satu peta Sumatera yang tidak lengkap, sementara tidak ada satupun di antara penumpang yang mengenal Sumatera Barat selain Ferdy. Anson melintasi Bengkalis terus ke Pekanbaru. Di atas kota itu, tiba-tiba Keegan menaikkan ketinggian pesawat untuk menghindar dari jarak tembak meriam penangkis serangan udara Belanda. Padahal kabin Anson tidak bertekanan.
Pesawat kemudian memasuki Sumatera Barat. "Well, tell me where is Gadut Airfield? (Beritahu saja, di mana lapangan terbang Gadut?" tanya Keegan kepada Ferdy. Dan Ferdy pun sempat kebingungan, karena jarak antara kota dan kampung di Sumatera Barat lebih rapat ketimbang di Riau.
"Akhirnya saya katakan, Bukittinggi itu dekat Gunung Singgalang dan Danau Singkarak," kata Ferdy. Berdasarkan petunjuk itu, Keegan berhasil menemukan Bukittinggi. "Saya mengenal dan jam gadangnya," kenang Ferdy.
Kesepakatan transaksi jual beli pesawat tercapai. Keegan bersedia menjual Anson tapi pembayarannya dilakukan di Songkhla, Muangthai. Sebab, ia perlu kembali ke Thailand dengan menompang pesawat itu, karena tak ada angkutan lain untuk dia pulang.
Pada 9 Desember 1947, Anson itu bertolak dari Bukittinggi ke Songkhla, Thailand dengan penumpang yang terdiri dari Keegan, Dick Tamimi, Is Yasin dan Aboe Bakar Loebis. Pesawat Avro Anson itu diterbangkan oleh Iswahyudi, sementara Halim Perdanakusuma bertindak sebagai navigator.
Pesawat tiba di Songhkla sore hari, setelah transit di Pekan Baru untuk mengisi bahan bakar. Namun untuk terus ke luar negeri, tidak satupun dari penumpang yang punya paspor, karena pada waktu itu Indonesia memang belum sempat untuk memikirkan pembuatan paspor Apalagi memperolehnya di daerah seperti di Sumatera.
Diceritakan setelah mereka mendarat di Lapangan Udara Simpangti-ga, Pekanbaru, Riau, secara kebetulan melintas pesawat udara pembom Belanda karena memang hampir seluruh wilayah Indonesia sudah diblokir oleh Belanda, termasuk Sumatera Barat waktu itu. "Untung pilot Belanda itu tidak melihat, kalau melihat mungkin pesawat Avro Anson dan semua penumpangnya waktu itu sudah menjadi abu," kata Aboe Bakar Loebis.
Sesampainya di Thailand nasib para pejuang Indonesia itu juga tidak mulus seperti yang dibayangkan. Ternyata mereka diusir oleh polisi negeri itu dengan tuduhan "penyelundup candu emas dan perhiasan". Aboe Bakar Loebis bersama beberapa orang anggota tim pembeli pesawat itu keluar dari Thailand dengan tujuan Penang, Malaysia, dan terus ke Singapura untuk pulang ke Bukittinggi. Hanya Halim Perdanakusuma dan Iswahyudi, hanya berdua, yang mendapat tugas menerbangkan pesawat yang baru dibeli itu kembali Bukittinggi.
Namun...., hanya sekitar satu jam sampai di Singapura dalam perja-lanan dari Thailand, Aboe Bakar Loebis tiba-tiba memperoleh telegram dari Polisi Malaka, yang mengabarkan, bahwa sebuah pesa-wat terbang Avro Anson telah jatuh di pantai Selat Malaka, dekat Tanjong Hantu, Perak Malaysia. Hanya jenazah Halim Perdanakusuma yang ditemukan sedangkan Iswahyudi tidak. Halim dikuburkan di Malaysia sana, makamnya kemudian dipindahkan ke TMP Kalibata, Jakarta. Kedua nama pahlawan itu diabadikan namanya untuk bandara Jakarta, Halim Perdana Kusuma, dan Madiun, Iswahyudi.
Jadi, pesawat Avro Anson itu tidak pernah dioperasikan untuk kepentingan perjuangan sebagaimana dimaksudkan semula. Bangkainya terkubur dalam arus laut Selat Malaka, bersama sejarahnya yang tak pernah dipedulikan lagi. Barulah pada peringatan 50 tahun Indonesia Merdeka, tahun 1995 lalu, muncul keputusan untuk mem-buat tugu berupa replika Avro Anson di bekas lokasi Lapangan Udara Gadut.
Kaum ibu Sumatera Barat tidak pernah melihat hasil sumbangan perhiasan emas yang mereka serahkan untuk membeli pesawat itu. Namun sumbangan mereka itu tercatat sebagai tinta emas sejarah republik, dan melahirkan dua nama Pahlawan Nasional, Iswwahyudi dan Halim Perdanakusuma, yang nama keduanya diabadikan sebagai nama pangkalan utama TNI AU di Madiun (Jatim) dan Jakarta.
Hatta Dijemput untuk Kembali ke Yogya
Selama Hatta berada di Sumatera, perjuangan kemerdekaan Indonesia memperoleh ciri yang lebih internasional. Usaha Sjahrir dalam menarik perhatian dunia terhadap revolusi Indonesia memiliki pengaruh yang amat besar.
Pada tanggal 14 Agustus 1947, yakni kurang dari sebulan setelah agresi militer Belanda I, Sjahrir tampil sebagai orang Indonesia pertama, yang menyampaikan pidato di depan Majelis Perserikatan Bangsa-Bangsa (PPB), dengan himbauan kepada Dewan Keamanan PBB supaya mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia dan menuntut agar PBB menghukum Belanda atas nafsu kolonialnya. Dewan Keamanan telah menanggapi pidato Sjahrir yang amat menggugah itu, dengan dibentuknya suatu Komite Jasa-Jasa Baik (Good Offices Committee) di bawah pengawasan "Komisi Tiga Negara".

Prakarsa Sjahrir bergema langsung ke kampung halamannya. Di depan "Front Nasional" di Bukittinggi, Bung Hatta menyampaikan dukungan dan rasa sukanya terhadap perjuangan Sjahrir di forum interna-sional itu. Berkat diplomasi yang dipimpin Sjahrir itu, Dewan Keamanan memerintahkan agar Belanda dan Indonesia meneruskan perundingan di bawah pengawasan "Komisi Tiga Negara",' yang menelorkan apa yang kemudian dikenal dengan perundingan Renville itu.
Dalam bukunya, Hamka mencatat, betapa keteguhan hati rakyat Minangkabau untuk membuat kesan baik kepada para anggota delegasi "Komite Jasa Baik", ketika mereka melakukan kunjungan inspeksi ke Sumatera. Rakyat menyambut dengan 'menggunakan cara lama tetapi terbukti ampuh dengan memukul beduk mesjid'.

Hamka ingat, bahwa Hatta terlihat kaget sewaktu menyaksikan formasi massa yang berbondong-bondong datang ke istana wakil presiden di rumah Tamu Agung (Istana Wakil Presiden). Sebagian besar di antara mereka membawa bambu runcing dan menyerukan "Hidup Bung Hatta - Hidup Bung Hatta". Hamka mengucapkan pidato sambutan yang amat menggugah bagi "Komite Jasa Baik", yang berkunjung ke Bukittinggi:
Tuan-tuan, apakah anda pernah melihat tempat yang indah seperti daerah ini? Gunung-gunung, sawah-ladang, hutan yang hijau dan desa-desanya? Selama tiga ratus lima puluh tahun tanah yang kami
cintai ini telah dirampas [Belanda] dari tangan kami, meskipun kamilah yang memilikinya. Kami dianggap budak di negeri kami sendiri... Tuan-tuan, anda lihat bambu runcing kami! Kalaupun ini adalah satu-satunya senjata yang bisa kami pakai untuk membela diri, kami tidak akan pernah membiarkan tanah air kami dirampas kembali.
Sambil meneruskan pidatonya, Hamka melirik kepada Hatta, dan dengan berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya ia mengamati mata Wakil Presiden berkaca-kaca dan merah. Hatta yang biasanya mampu menahan diri, kali ini terlihat menangis.

Ini adalah salah satu dari sedikit "moment" ketika Hatta mem-biarkan emosinya muncul di depan umum. Hubungan pribadi Hatta yang dekat dengan para anggota Komisi, khususnya delegasi Austra-lia dan Amerika, menjadi modal yang penting dalam pencapaian tujuan terakhir perjuangan kemerdekaan Indonesia, sesuatu yang senantiasa hidup dalam jiwa dan perbuatannya. Inilah kesempatan awal bagi Hatta untuk memulai lagi perundingan baru, yang membawa Hatta kembali ke Jawa.
Setelah hampir delapan bulan memimpin Republik dari Bukittinggi, pada tanggal 5 Februari 1948, Hatta dijemput langsung oleh sejum-lah pemimpin pusat, termasuk di antaranya perdana Menteri Amir Sjarifuddin, Sutan Sjahrir, Zaenal Baharuddin (tokoh pemuda), dan Prawato (Masyumi).
"Aku sudah menduga bahwa kedatangan mereka itu tidak lain memba-waku kembali ke Yogya," kenang Hatta kelak.

Untuk melepas Bung Hatta kembali ke Yogyakarta, maka diadakanlah suatu "rapat besar" di lapangan Kantin, di pusat kota. Tampil ke podium tiga tokoh pembicara secara berganti-ganti. Hatta berpida-to pada giliran pertama untuk mengucapkan pidato perpisahan kepada rakyat Sumatera Barat. Singkat saja, inilah kutipan isi pidatonya:
".... bahwa Perjanjian Renville hanyalah satu mata rantai dalam perjuangan kita yang panjang. Ada orang yang mengatakan kita kalah. Tetapi aku peringatkan, bahwa bangsa yang kalah ialah bangsa yang mengaku kalah. Perjuangan kita teruskan dengan berba-gai resikonya. Kita sudah diterima mempertahankan kemerdekaan kita dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sebab itu, Republik Indo-nesia tidak lagi bisa dihapuskan dari peta dunia...."
Giliran kedua berpidato Sutan Sjahrir. Isinya juga singkat saja. Sjahrir mengakui dan menghargai pengorbanan rakyat. Cuma pemim-pinlah, katanya, yang tidak jujur kepada rakyat. Ucapan ini disambut dengan gemuruh tepuk-tangan dan sorak-sorai hadirin.
Tiba giliran ketiga atau yang terakhir, Perdana Menteri Amir Sjarifuddin, di sambut dingin saja oleh para hadirin. Dia keliha-tan bingung karena hampir tak tahu apa yang akan diucapkannya. Ia merasa rakyat Bukittinggi tidak senang kepadanya. Ini sehubungan dengan hasil Renville yang dianggap merugikan pihak Republik.

Pihak militer Sumatera Barat sangat marah kepadanya, karena dalam perundingan ia menerima "Van Mook Lijn" (Garis Van Mook), yaitu garis demarkasi antara daerah pendudukan Belanda dan daerah Republik. Di Sumatera Barat, menurut "Garis Van Mook", Belanda dapat memperluas wilayah kekuasaannya ke daerah yang belum pernah diduduki Belanda tanpa bertempur. Sebaliknya pejuang Republik di daerah ini harus mundur dari setiap jengkal tanah yang dengan setia telah dipertahankan selama ini. Inilah konsekuensi kebija-kan perundingan yang ditempuh para pemimpin pusat.
Ketika prakarsa perundingan Renville dimulal kembali, banyak di antara pemimpin daerah dan teristimewa kelompok militer yang meragukan akan kesungguhan sikap Belanda. Mental kolonialnya yang ingin kembali menjajah Indonesia tampak betul ketika Belanda melanggar komitmen Linggarjati. Ketika terdesak Belanda meminta damai, tetapi kalau sudah kuat dia melanggar dan itulah yang dilakukannya dengan pukulan agresi militernya yang pertama.
Sebagaimana kita ketahui kemudian, perjanjian Renville akhirnya juga sia-sia, karena Belanda lebih cepat menyelesaikannya secara sepihak dengan jalan melancarkan Agresi Militer kedua. Buntutnya ialah diserangnya Yogyakarta dan Bukittinggi, Soekarno, Hatta, dan Sjahrir ditawan lalu diasingkan ke Bangka.
Namun di Sumatra Barat akhirnya lahir PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) untuk meneruskan nyawa Republik. Dan ini adalah bagian dari hasil rintisan Bung Hatta selama berada di Sumatra, sehingga eksistensi RI tetap terjaga. Hingga kini. ***

**Dikutip dari HU Mimbar Minang/Hasril Chaniago